Jumat, 19 Juni 2015

Harsisto Hardjuri ; Anak Petani yang Mendapat Gelar Profesor Riset Dari Tokyo University



    20 Juni 2015,  Harsisto lahir di Kertosono, sebuah kabupaten yang tidak terlalu maju di Jawa Timur, pada 13 Juni 1959, dari ayah yang bernama Sardjuri dan Ibu bernama Suratemi (almarhumah). Masa kecilnya dihabiskan di kampong halamannya sejak SD hingga SMA. Tidak banyak hal istimewa yang dapat ia dapatkan sewaktu berada di kampungnya, kecuali sekedar menjalani masa kanak – kanak seperti umumnya anak petani lain.
     Pada waktu senggangnya, Harsisto membantu orang tuanya di sawah dan merawat tanaman tebunya, dan sesekali ia juga bermain. Ia bukanlah anak yang muluk – muluk dan memiliki impian setinggi langit. Ia tidak pernah merancang masa depannya sedemikian rinci.
     Semasa kecil, Harsisto hanya ingin menjadi petani yang baik, sebagaimana orang tuanya. Tidak  pernah terpikir olehnya menjadi mahasiswa dan kuliah diperguruan tinggi. Hal ini bisa dimaklumi lantaran kondisi ekonomi keluarganya, dan ia juga bukanlah anak yang terlalu menonjol dari segi kecerdasan.
     Tujuannya dan cita-citanya mulai berubah ketika Harsisto melihat tetangga sekitarnya pergi kuliah ke Universitas Airlangga, Surabaya. Pengalaman bertani dan melihat kegagahan orang kuliah membuatnya tidak ingin lagi menjadi petani, tetapi akan kuliah.
     Keinginan Harsisto itu direalisasikannya saat ia mengikuti kursus IPIEM, sebuah lembaga pelatihan kursus keahlian (live skill) di Surabaya. Di sana, ia mulai belajar secara giat dan tekun agar bisa menembus tes masuk kuliah favorit. Nasib baik berpihak pada Harsisto ketika ia mengikuti tes UMPTN tahun 1977 , ia dinyatakan lulus di lima universitas sekaligus, yakni Univ Airlangga, UGM, ITB, UNS dan Univ Brawijaya. Tanpa berpikir terlalu lama, ia menjatuhkan pilihan untuk melanjutkan studi di ITB, dan ia pun merantau ke Bandung.
     Pada tahun itu pula, Harsisto langsung berangkat ke ITB. Tentunya, hal ini disertai kekhawatiran bahwa kuliahnya bisa putus di tengah jalan lantaran orang tuanya memang tidak pernah mampu menjamin biayanya hingga ia lulus kelak. Sejak awal, ia sudah dinasehati agar kuliahnya dapat terus dijalaninya dengan atau tanpa kiriman uang dari orang tuanya. Saat itu, ia memang belum mendapatkan beasiswa dari lembaga manapun. Dan, benar saja, ia berhadapan dengan hal tersebut nyaris selama ia kuliah di Bandung
     Kehidupan di ITB dijalani oleh Harsisto sejak tahun 1977 hingga tahun 1985. Keterbatasan yang ia rasakan tidak saja berkisar seputar masalah pengadaan buku-buku atau keperluan kuliah, tetapi juga kebutuhan hidup sehari-hari, seperti makan dan tempat tinggal. Akhirnya, ia hidup bersama kawan – kawan lainnya sesame orang miskin selama tinggal di tempat kontrakan. Ketika itulah, ia mulai sadar bahwa ia harus mandiri dan terus berjuang tanpa tergantung sedikitpun pada orang tuanya.
     Setelah tiga tahun, Harsisto mendapatkan gelar sarjana muda. Dulu, kuliah memang tidak ada yang empat tahun; tiga tahun untuk meraih gelar sarjana muda, dan lima tahun untuk mencapai gelar S1 atau Insinyur. Harsisto memutuskan untuk kuliah lagi. Namun kali ini, ia kuliah sambil bekerja. Lembaga yang menjadi sasarannya sewaktu itu adalah LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).  Berkat ilmu yang ia dapatkan selama kuliah akhirnya ia diterima di Lembaga Metalurgi Nasional (LMN-LIPI) sebagai tenaga honorer. Kesempatan itu tidak disia-siakan olehnya. Jadilah ia bekerja sampai lulus S1.
     Akhirnya, pada tahun 1985, ia diwisuda untuk memperoleh gelar insinyur tambang. Bersamaan dengan hal itu, ia juga mencari peluang beasiswa untuk mewujudkan cita-citanya. Ia rajin menunaikan sholat Tahajjud, berdoa dan berdzikir, serta puasa Senin Kamis demi meraih cita-citanya. Kabar baik itu pun tiba. Ia lulus seleksi penerimaan beasiswa ke luar negeri yang diadakan oleh Kementrian Riset dan Teknologi Indonesia bekerja sama dengan Lembaga Monbusho Jepang. Selain itu Harsisto juga lulus seleksi ke Jerman dan Prancis. Namun, ia lebih memilih Jepang lantaran uang saku yang diberikan lebih besar.
      Sesampainya di Negeri Matahari Terbit itu, Harsisto diterima di perguruan tinggi paling bergengsi di seantero Jepang, yakni Tokyo University, Fakultas Teknik, Departemen Metalurgi. Di Jepang, Harsisto mengikuti kursus bahasa Jepang dan melakukan Training di bidang korosi. Sejak pukul 08.00 sampai 23.30, ia selalu melakukan riset di bidang dunia pertambangan. Salah satu penelitian paling fenomenalnya adalah ketika ia melakukan pengujian terhadap penelitian Tokyo Gas, sebuah perusahaan gas alam Jepang, terhadap efek korosi. Tema penelitian inilah yang akhirnya dijadikan tema program master dan program doktornya di Universitas Tokyo. Akhirnya, pada tahun 1991, ia lulus dari Tokyo University, dan pulang kembali ke Indonesia dengan beragam kebanggaan. Harsisto pun kembali bekerja di LIPI.
     Bagi Harsisto, menyelesaikan studi di universitas bergengsi di Jepang barangkali lebih dari sekedar cukup untuk membuat keluarga dan saudara – saudaranya bangga. Namun, kebanggaan paling besar karena ia dilahirkan dari keluarga patani, namun mampu melakukan mobilisasi sosial menjadi seorang ilmuan terkemuka.
     
Disarikan dari buku ORANG MISKIN ( BOLEH ) SUKSES SEKOLAH, M. Sanusi, DIVA Press, Jogjakarta, 2010 .
    

0 comments:

Posting Komentar