20 Juni 2015, Harsisto
lahir di Kertosono, sebuah kabupaten yang tidak terlalu maju di Jawa Timur,
pada 13 Juni 1959, dari ayah yang bernama Sardjuri dan Ibu bernama Suratemi
(almarhumah). Masa kecilnya dihabiskan di kampong halamannya sejak SD hingga
SMA. Tidak banyak hal istimewa yang dapat ia dapatkan sewaktu berada di
kampungnya, kecuali sekedar menjalani masa kanak – kanak seperti umumnya anak
petani lain.
Pada waktu senggangnya, Harsisto membantu
orang tuanya di sawah dan merawat tanaman tebunya, dan sesekali ia juga
bermain. Ia bukanlah anak yang muluk – muluk dan memiliki impian setinggi
langit. Ia tidak pernah merancang masa depannya sedemikian rinci.
Semasa kecil, Harsisto hanya ingin menjadi
petani yang baik, sebagaimana orang tuanya. Tidak pernah terpikir olehnya menjadi mahasiswa dan
kuliah diperguruan tinggi. Hal ini bisa dimaklumi lantaran kondisi ekonomi
keluarganya, dan ia juga bukanlah anak yang terlalu menonjol dari segi
kecerdasan.
Tujuannya dan cita-citanya mulai berubah
ketika Harsisto melihat tetangga sekitarnya pergi kuliah ke Universitas
Airlangga, Surabaya. Pengalaman bertani dan melihat kegagahan orang kuliah
membuatnya tidak ingin lagi menjadi petani, tetapi akan kuliah.
Keinginan Harsisto itu direalisasikannya
saat ia mengikuti kursus IPIEM, sebuah lembaga pelatihan kursus keahlian (live
skill) di Surabaya. Di sana, ia mulai belajar secara giat dan tekun agar bisa
menembus tes masuk kuliah favorit. Nasib baik berpihak pada Harsisto ketika ia
mengikuti tes UMPTN tahun 1977 , ia dinyatakan lulus di lima universitas
sekaligus, yakni Univ Airlangga, UGM, ITB, UNS dan Univ Brawijaya. Tanpa
berpikir terlalu lama, ia menjatuhkan pilihan untuk melanjutkan studi di ITB,
dan ia pun merantau ke Bandung.
Pada tahun itu pula, Harsisto langsung
berangkat ke ITB. Tentunya, hal ini disertai kekhawatiran bahwa kuliahnya bisa
putus di tengah jalan lantaran orang tuanya memang tidak pernah mampu menjamin
biayanya hingga ia lulus kelak. Sejak awal, ia sudah dinasehati agar kuliahnya
dapat terus dijalaninya dengan atau tanpa kiriman uang dari orang tuanya. Saat itu,
ia memang belum mendapatkan beasiswa dari lembaga manapun. Dan, benar saja, ia
berhadapan dengan hal tersebut nyaris selama ia kuliah di Bandung
Kehidupan di ITB dijalani oleh Harsisto
sejak tahun 1977 hingga tahun 1985. Keterbatasan yang ia rasakan tidak saja
berkisar seputar masalah pengadaan buku-buku atau keperluan kuliah, tetapi juga
kebutuhan hidup sehari-hari, seperti makan dan tempat tinggal. Akhirnya, ia
hidup bersama kawan – kawan lainnya sesame orang miskin selama tinggal di
tempat kontrakan. Ketika itulah, ia mulai sadar bahwa ia harus mandiri dan
terus berjuang tanpa tergantung sedikitpun pada orang tuanya.
Setelah tiga tahun, Harsisto mendapatkan
gelar sarjana muda. Dulu, kuliah memang tidak ada yang empat tahun; tiga tahun
untuk meraih gelar sarjana muda, dan lima tahun untuk mencapai gelar S1 atau
Insinyur. Harsisto memutuskan untuk kuliah lagi. Namun kali ini, ia kuliah
sambil bekerja. Lembaga yang menjadi sasarannya sewaktu itu adalah LIPI
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Berkat
ilmu yang ia dapatkan selama kuliah akhirnya ia diterima di Lembaga Metalurgi
Nasional (LMN-LIPI) sebagai tenaga honorer. Kesempatan itu tidak disia-siakan
olehnya. Jadilah ia bekerja sampai lulus S1.
Akhirnya, pada tahun 1985, ia diwisuda
untuk memperoleh gelar insinyur tambang. Bersamaan dengan hal itu, ia juga
mencari peluang beasiswa untuk mewujudkan cita-citanya. Ia rajin menunaikan
sholat Tahajjud, berdoa dan berdzikir, serta puasa Senin Kamis demi meraih
cita-citanya. Kabar baik itu pun tiba. Ia lulus seleksi penerimaan beasiswa ke
luar negeri yang diadakan oleh Kementrian Riset dan Teknologi Indonesia bekerja
sama dengan Lembaga Monbusho Jepang. Selain itu Harsisto juga lulus seleksi ke
Jerman dan Prancis. Namun, ia lebih memilih Jepang lantaran uang saku yang
diberikan lebih besar.
Sesampainya di Negeri Matahari Terbit
itu, Harsisto diterima di perguruan tinggi paling bergengsi di seantero Jepang,
yakni Tokyo University, Fakultas Teknik, Departemen Metalurgi. Di Jepang,
Harsisto mengikuti kursus bahasa Jepang dan melakukan Training di bidang
korosi. Sejak pukul 08.00 sampai 23.30, ia selalu melakukan riset di bidang
dunia pertambangan. Salah satu penelitian paling fenomenalnya adalah ketika ia
melakukan pengujian terhadap penelitian Tokyo Gas, sebuah perusahaan gas alam
Jepang, terhadap efek korosi. Tema penelitian inilah yang akhirnya dijadikan
tema program master dan program doktornya di Universitas Tokyo. Akhirnya, pada
tahun 1991, ia lulus dari Tokyo University, dan pulang kembali ke Indonesia
dengan beragam kebanggaan. Harsisto pun kembali bekerja di LIPI.
Bagi Harsisto, menyelesaikan studi di
universitas bergengsi di Jepang barangkali lebih dari sekedar cukup untuk
membuat keluarga dan saudara – saudaranya bangga. Namun, kebanggaan paling
besar karena ia dilahirkan dari keluarga patani, namun mampu melakukan
mobilisasi sosial menjadi seorang ilmuan terkemuka.
Disarikan dari buku ORANG MISKIN ( BOLEH ) SUKSES SEKOLAH, M. Sanusi, DIVA Press, Jogjakarta, 2010 .